Kamis, 13 November 2008

Laporan

BAB VI

PENUTUP

Kesimpulan

Latar belakang berdirinya Pusham (Pusat Studi Hak Asasi Manusia) Unair diawali dari adanya surat keputusan dari Menteri HAM yang ditujukan kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Salah satunya ditujukan kepada Universitas Airlangga. Isi dari surat Menteri HAM adalah agar setiap perguruan tinggi mendirikan lembaga studi Hak Asasi Manusia (HAM). Surat dari Menteri HAM kemudian diproses oleh pihak Unair dan kemudian lahirlah Pusham Unair pada tahun 2000.

Setelah Pusham Unair diresmikan pada tanggal 2 November 2000 oleh Rektor Unair, lalu acara selanjutnya adalah langkah perumusan visi dan misi. Perumusan visi dan misi ini diawali dengan ceramah, analisis korban dan pelaku pelanggaran HAM, analisis isu-isu strategis, analisis mandat dan nilai-nilai dilanjutkan dengan perumusan penetapan visi dan misi. Sesudah mempertimbangkan karakteristik korban dan pelaku pelanggaran HAM, Issu Strategis, Mandat dan Nilai-nilai, maka :

Visi Pusham Unair, adalah :

Terwujudnya tatanan masyarakat sipil yang saintifik dan demokratis, yang mengedepankan supremasi hukum dan hak asasi manusia, dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.



3

isi Pusham Unair, adalah :

1. Mendorong terwujudnya kebijakan publik yang lebih berorientasi pada rasa keadilan masyarakat luas

2. Memperkuat proses-proses konsolidasi dan koordinasi kekuatan-kekuatan masyarakat dan perguruan tinggi yang peduli pada pengembangan wacana dan penegakan HAM.

3. Menumbuhkan dan melembagakan kesadaran hukum dan HAM pada masyarakat, perguruan tinggi, aparat negara dan kalangan pengusaha.

Sekarang ini pada tahun 2008 Pusham unair mempunyai dua agenda kegiatan atau program utama. Kegiatan yang pertama adalah tentang reformasi polisi dan yang kedua adalah tentang perempuan dan politik. Reformasi polisi ini bertujuan agar di dalam tubuh Polri dilakukan reformasi dan agar mempunyai pendekatan-pendekatan yang lebih humanistic dan lebih memihak atau menjunjung HAM dalam upaya penyelesaian masalah yang ditangani polisi. Kegiatan yang kedua adalah perempuan dan politik. Di Indonesia posisi perempuan sering termarginalkan. Padahal HAM adalah salah satu hak perempuan juga. Dalam dunia politik, posisi perempuan juga kurang mendapat tempat atau kesempatan yang lebih dari pada laki-laki. Tujuan dari kegiatan ini adalah Pusham membrikan dukungan kepada teman-teman perempuan agar dapat lebih aktif berpartisipasi dalam dunia politik.

Selain dua kegiatan utama tersebut, Pusham Unair juga mempunyai kegiatan utin yang dilakukan dan sifatnya insidental. Kegitan-kegiatan tersebut biasanya tentang diskusi-diskusi bersama tokoh-tokoh masyarakat seperti tokoh politik, budaya, seni, dan lain-lain. Kegiatan insidental yang diadakan olerh Pusham Unair misalnya adalah kedatangan Budiman Sudjatmiko untuk diskusi dengan kawan-kawan GMNI dan lain-lain di Pusham Unair. Budiman Sudjatmiko menyampaikan atau membicarakan tentang Soekarno sebagai seorang proklamator, Presiden pertama RI dan sebagai seorang ideolog serta menyampaikan kondisi politik dan bangsa Indonesia saat ini.

Salah satu wujud nyata dari program jangka panjang Pusham Yang pertama adalah COP (Corporate Organization Police) atau biasa disebut FKPM. COP merupakan program dari Polri sejak kedudukannya secara struktural terlepas dari TNI. Polri telah merespon reformasi tersebut dengan melakukan perubahan pada tiga aspek, yaitu aspek struktural (kelembagaan, organisasi, susunan dan kedudukan), aspek instrumental (visi, misi dan tujuan), dan aspek kultural (manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material, fasilitas dan jasa, sistem anggaran dan sistem operasional). Dari ketiga aspek tersebut aspek kultural merupakan yang paling berat, karena menjadi wujud nyata dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, dan menjadi tolak ukur keberhasilan dalam tugas dan fungsi Poiri yaitu sebagai penegak hukum, pelayan, pelindung, pengayom masyarakat, dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Dengan adanya tuntutan reformasi dalam tubuh Polri yaitu dalam aspek kultural dan juga dalam masyarakat yaitu kesadaran akan pentingnya stabilitas kamtibmas, maka masyarakat telah mewujudkannya dalam suatu bentuk program yang disebut COP (Community Oriented Policing). Program COP telah diadobsi dari berbagai negara yang telah berhasil mengimplementasikannya. Implementasi program COP merupakan atas kerjasama dari berbagai pihak antara lain pemerintah, swasta, dan masyarakat termasuk juga kepolisian. Program ini sampai sekarang telah diimplementasikan di berbagai kota besar di Indonesia termasuk Surabaya. Di Surabaya sendiri program COP mulai diimplementasikan pada tanggal 8 April 2004, yang telah bekerjasama dengan The Asia Foundation sebagai lembaga donor, Pusham Unair sebagai "civil society organization", Polwiltabes Surabaya, dan juga Pemerintah Kota Surabaya yang telah memberikan dukungan lewat kebijakan alokasi anggaran khusus dalam APBD tahun 2005

BAB IV n V

BAB IV

TEMUAN DAN PAPARAN DATA

Latar belakang berdirinya Pusham (Pusat Studi Hak Asasi Manusia) Unair diawali dari adanya surat keputusan dari Menteri HAM yang ditujukan kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Salah satunya ditujukan kepada Universitas Airlangga. Isi dari surat Menteri HAM adalah agar setiap perguruan tinggi mendirikan lembaga studi Hak Asasi Manusia (HAM). Surat dari Menteri HAM kemudian diproses oleh pihak Unair dan kemudian lahirlah Pusham Unair pada tahun 2000. Hal ini sepert diungkapkan oleh Agus (26):

“ Awal berdirinya Pusham Unair ini mas, dulu itu ada surat dari kementerian HAM yang ditujukan kepada semua perguruan tinggi dan salah satunya kepada Unair. Isinya itu agar setiap universitas mendirikan lembaga-lembaga pusat studi Hak Asasi Manusia. Lalu surat kementrian HAM tersebut diproses oleh pihak kampus Unair lalu berdirilah Pusham Unair pada tahun 2000.”

Setelah Pusham Unair diresmikan pada tanggal 2 November 2000 oleh Rektor Unair, lalu acara selanjutnya adalah langkah perumusan visi dan misi. Perumusan visi dan misi ini diawali dengan ceramah, analisis korban dan pelaku pelanggaran HAM, analisis isu-isu strategis, analisis mandat dan nilai-nilai dilanjutkan dengan perumusan penetapan visi dan misi. Hasil dari acara tersebut adalah sebagai berikut:

9

Karakteristik korban adalah korban merupakan mereka yang tidak memiliki akses politik, informasi dan budaya; mereka yang lemah posisi hukumnya dan mereka yang tidak memperoleh perlindungan yang cukup dari DPRD, polisi, jaksa, hakim dan perangkat pemerintah lainnya.

Karakteristik korban diatas merupakan karakteristik secara umum, maka akan sebutkan pula disini karakteristik korban pelanggaran HAM khusus bagi perempuan dan anak-anak. Khusus bagi korban perempuan adalah mereka yang mengalami kekerasan berupa pencabulan, perkosaan, di injak-injak hak reproduksinya, mereka yang mengalami trauma psikologis akibat perlakuan diatas, mereka yang diabaikan hak-hak ekonominya dan mereka yang tidak mempunyai akses ke peradilan. Khusus bagi korban anak-anak, mereka adalah anak yang dianiaya, dijual (trafficking), dikenai stereotype (stereotyping) dan mereka yang diracuni sejak dalam kandungan.

Karakteristik pelaku pelanggaran HAM adalah mereka yang berposisi sebagai aparat negara dan meiliki sikap mental feudal, bersikap dan bertindak anti demokrasi, melawan pembangunan masyarakata sipil, lebih menguntungkan keadilan procedural daripada keadilan substansial, mereka yang merasa berhak atas hidup korban, mereka yang merasa tindakannya menghancurkan harkat dan martabat manusia merupakan hal yang lumrah dan mereka yang tidak peka gender.

Isu-isu strategis yang dirumuskan adalah Kebijakan pembangunan Indonesia lebih memihak pada kepentingan pemilik modal daripada kepentingan rakyat, sehingga negara lebih menampakkan wajahnya sebagai “res-investor” daripada “respublika”, Lemahnya konsolidasi dan koordinasi kekuatan-kekuatan masyarakat sipil dan perguruan tinggi yang memiliki komitmen dalam mengembangkan wacana dan menegakkan HAM.

Setelah melakukan analisis korban dan pelaku pelanggaran HAM, mandat dianalisis berkaitan dengan dasar legitimasi Pusham Unair untuk terlibat dalam pengembangan wacana dan penegakan HAM. Mengingat mandat Pusham Unair adalah Membangun kesadaran HAM di masyarakat dan memeperjuangkan agar kebijakan negara lebih berpihak pada penegakan HAM, melalui suatu mekanisme pengkajian yang saintifik. Sedangkan dasar legalitas mandat Pusham Unair adalah Pasal 28 UUD ’45, UU No. 39/1999 mengenai HAM, UU No. 26/2000 mengenai Pengadilan HAM, TAP MPR No. VII/2000 mengenai HAM, Rancangan Aksi Nasional HAM RI, Visi dan Misi Universitas Airlangga, Visi dan Misi LPKM Unair dan SK Rektor tentang Pengesahan Berdirinya Pusham Unair. Mandat yang diberikan kepada Pusham Unair tersebut akan dipertanggungjawabkan dengan cara pembuatan laporan tahunan kepada Rektor Unair dan Ketua LPKM Unair, menyampaikan laporan kegiatan Pusham kepada stakeholders/jaringan kerja Pusham, memberikan akses yang lebih besar kepada stakeholder utama (korban) dalam pemanfaatan ruang publik dan wacana (seminar, workshop, diskusi, testimoni dll) dan mempublikasikan kegiatan-kegiatan akademis yang berkaitan dengan sosialisasi dan penegakan HAM kepada masyarakat.

Setelah perumusan diatas, Pusham Unair juga harus mempunyai nilai-nilai yang bisa di jadikan dasar setiap sikap dan tindakan staf dan aktifitasnya agar dapat merealisasikan amanah yang diberikan. Nilai-nilai yang menjadi dasar tersebut adalah Demokrasi, Penghormatan terhadap HAM setiap orang, Saintifik (obyektif, metodologi, sistematik dan logis), Kesetaraan dan egalitarian, Non diskriminatif, Keadilan gender, Volunterism (non profit oriented) dan moral dan agama.

Sesudah mempertimbangkan karakteristik korban dan pelaku pelanggaran HAM, Issu Strategis, Mandat dan Nilai-nilai, maka :

Visi Pusham Unair, adalah :

Terwujudnya tatanan masyarakat sipil yang saintifik dan demokratis, yang mengedepankan supremasi hukum dan hak asasi manusia, dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Misi Pusham Unair, adalah :

1. Mendorong terwujudnya kebijakan publik yang lebih berorientasi pada rasa keadilan masyarakat luas

2. Memperkuat proses-proses konsolidasi dan koordinasi kekuatan-kekuatan masyarakat dan perguruan tinggi yang peduli pada pengembangan wacana dan penegakan HAM.

3. Menumbuhkan dan melembagakan kesadaran hukum dan HAM pada masyarakat, perguruan tinggi, aparat negara dan kalangan pengusaha.[1]

Sejak di dirikannya pada tahun 2000, Pusham Unair telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan HAM yang dilaksanakan di Surabaya, berikut adalah ringkasan kegiatan Pusham Unair yang dilaksanakan di awal tahun berdirinya Pusham Unair:

1. Diskusi Terbatas Mafia Peradilan

Dilaksanakan pada:

· Hari/Tanggal: Kamis, 28 Juni 2001

Pukul: 10.00 - Selesai

· Tempat: Pusham Unair

· Pengantar Diskusi: Hadi Pranoto, SH dan Suharjono, SH

· Peserta: Wisjnubroto, SH, Tuti Handayani, Andrio( W & R Law Firm), Nonot (Crisis Centre), Nanang(LPA Jatim), Anang Adi M (Hotline LPA Jatim), Hadi Pranoto ( Pengacara), I Wayan T (UPKBH FH UA), Orip Budi(Harian Surya), Eman R (Pusham UA)

· Hasil: Merumuskan Permasalahan

2. Diskusi Jaringan Analisa APBD Kota Surabaya 2001

Dilaksanakan pada:

· Hari/Tanggal: Kamis, 25 Juni 2001

· Pukul: 09.00 - selesai

· Tempat: Pusham Unair

· Pengantar diskusi: Bambang Budiono

· Peserta: Pusham Unair, Crisis Centre, KPPD, PKSL, LPA Jatim, GMNI Surabaya, Pupuk, Plan International.

· Hasil: Mengadakan Seminar Terbuka tentang Analisa APBD Kota Surabaya 2001 dan Transparansi APBD 2001 Kota Surabaya

3. Seminar Terbuka Analisa APBD Kota Surabaya 2001

Dilaksanakan Pada:

· Hari/ Tanggal: Kamis, 5 Juli 2001

· Pukul: 09.00 - Selesai

· Tempat: Pusham Unair

· Pengantar Seminar:Pembicara: Ali Jamhuri (Unibraw, Malang), Rudi H (Pemda Surabaya) Moderator: Bambang Budiono

· Pesrta: GMNI Sby, LBH Surabaya, LPKM UA, UKM UA, Kadin Surabaya, GPTR, KPPD, IMM Sby, Harian Surya, LPA Jatim, REPUBLIKA, PUPUK, Surabaya Post, Komunika, SBR, Soetandyo (Unair), Naga Surya, Radar Sby, FH, Kelompok kerja Humanika, FKPS, FPPI ITAS, Foto Raya, Radio Kosmonita, Yayasan Arek, LSKBH, APPI,

· Hasil: Menindak lanjuti dengan aksi kampanye transparansi APBD 2001

4. Rapat Jaringan Persiapan Kampanye Transparansi APBD 2001 Kota Surabaya

Dilaksanakan Pada:

· Hari/ Tanggal: Selasa,10 Juli 2001

· Pukul: 09.00 - selesai

· Tempat: Pusham Unair

· Pengantar Rapat: Bambang Budiono

· Peserta: Jaringan

· Hasil: Mengadakan Kampanye bagi - bagi selebaran Diagram APBD Surabaya 2001 di beberapa daerah di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 2001

5. Pembuatan Pernyataan Sikap Bersama Atas Keputusan DPR Tentang Kasus Semanggi dan Kasus Trisakti

Dilaksanakan Pada:

· Hari/ Tanggal: 13 Juli 2001

· Pukul: 09.00 - selesai

· Tempat: Pusham Unair

· Pengantar Diskusi: Rafael

· Peserta: Jaringan

· Hasil: Mengirimkan Pernyataan Sikap Kepada DPR

6. Debat Publik Calon Komnas HAM Dari Jawa Timur

Dilaksanakan Pada:

· Hari/Tanggal: selasa, 17 Juli 2001

· Pukul: 08.00 - selesai

· Tempat: Pusham Unair

· Pengantar Seminar: Pembicara: Ali Soegondo, Hj. Ina, Edy Suhardono, Soejoedi, Anshari Thayib, Ruswiyati. Moderator: Rafael

· Peserta: Pusham Unair, LPA Jatim, RRI Sby, Jawa Post, FH UA, Fisip UA, Kejati Jatim, LBM- S, GMNI, KIPP Sby, STFT Malang, Gema Republik, Ciliwung Jakarta, PPS Unair, FMKZH Ubaya, FH Ubaya, FKT, Serikat Pekerja, Esgasf, Makim Boen Bio, Inspirasi, Perekat, Univ. Surabaya, REPUBLIKA, Fokus Maker, Fisip UA, TVRI, Kompas, Salvatore, IPN(Graha Pena), Serikat Buruh Jember, YPB Jember, LSKBH, Cakrawala Timur, Suga, KPPD, SPKP, LPM, YBP Jakarta, SBR, PWI, BP- FKS, AJI, FE Unair, Univ. WK, KPTD, YPKP Jatim.

· Hasil: Menciptakan Budaya Politik Baru Yang Lebih Terbuka

7. Diskusi Jaringan Pra dan Pasca SI

Dilaksanakan pada:

· Hari/ Tanggal: Senin, 23 Juli 2001

· Pukul: 09.00 - selesai

· Tempat: Pusham Unair

· Pengantar diskusi: Bambang Budiono

Peserta: Pusham Unair, Walhi Jatim, SMPR Surabaya, Pusham Ubaya, Pokja LEMNU, FNPBI, LBH Surabaya, KPPD, SC Crisis Centre, UPN Veteran, BEM Fisip Unair, DLM Stiesia, Pilar Bangsa, SuGA. Perekat, KIPP Surabaya, BLM FIA UPN, PMKRI Surabaya, PMII Unair, Komunika Surabaya, KPK-PRD Surabaya, Inspirasi, Djembatan Merah, GMNI Surabaya, LMND Surabaya, PDKB Jatim, Panji Surabaya

· Hasil: pernyataan Sikap

8. Rapat Jaringan Persiapan Kampanye APBD Surabaya 2001

Dilaksanakan Pada:

· Hari/ Tanggal: Rabu, 15 Agustus 2001

· Pukul: 08.00 - selesai

· Tempat: Pusham Unair

· Pengantar Diskusi: Bambang Budiono

· Peserta: Jaringan

· Hasil: Aksi atau kampanye transparansi APBD Surabaya 2001 pada tanggal 17 Agustus 2001

9. Kampanye transparansi APBD 2001 kota Surabaya

Dilaksanakan pada:

· Hari/Tanggal: Jum' at, 17 Agustus 2001

· Pukul: 07.00 - selesai (habis upacara)

· Tempat: Traffic Light (J1. Pemuda, Dharmawangsa, Pasar Turi),Komunitas (buruh, Balongsari), Sekolah (SMA Kompleks, SMA 6,Kedokteran UA)

· Peserta: Jaringan

10. Work Shop Pengorganisasian Gerakan Pemberdayaan Bagi Pembantu Rumah Tangga Anak

Dilaksanakan pada:

· Hari/ Tanggal: 25 September 2001

· Pukul: 09.00 - 16.00

· Tempat: Pusham Unair

· Pengantar diskusi: Lita A (RTND Yogyakarta), Sih H (SBPY Yogyakarta)

· Peserta: Pusham Unair, KPPD, Genta, Crisis Centre, LPA Jatim, RTND, SBPY, PERISAI, SAMIN, INSANI, YGS, PSW Unitomo, PSW UA, SPMAA, Y. Arek, APPI, Pusham Ubaya, Pilar bangsa, Walsama, GMNI, PRT.

· Hasil: Memperjuangkan undang-undang yang mengatur adanya: Abolitif bagi PRTA dibawah usia 14 tahun, Abolitif bagi PRTA usia 15 hingga di bawah 18 tahun sejak diberlakukannya UU ini, Gerakan pemberdayaan PRTA oleh LSM harus mengarah pada pemberian perlindungan bagi PRTA usia 15 hingga 18 th yang saat ini, hingga diberlakukannya UU abolitif di atas masih ada, Gerakan pemberdayaan PRTA oleh LSM harus mengkriminalkan pihak-pihak yang mempekerkan anak di bawah 15 th sebagai PRTA

11. Debat Publik & Testimoni

"bentrok tni-polri dan jaminan rasa aman bagi masyaakat"

LBH Surabaya-PUSHAM UNAIR-KPPD-SCCC –

Dilaksanakan pada:

· Kamis, 4 Oktober 2001

· Moderator : Bapak Rafael

· Narasumber : M. Ma'ruf (LBH Surabaya), H. Agil Ali (Memorandum), Munir (YLBHI), Kombes Pol.Drs. Soehandono.

Hasil: Para saksi yang masih berusia belasan melakukan testimoni dihadapan pers dan banyak pihak tsb. diatas. Pihak Kepolisian (Polda Jatim) mengaku akan bertanggung jawab secara institusional.

12. Work Shop Mengenal Hak Anak dan Unsur-Unsur Hak Anak Sebagai Bagian Integral Dari HAM

Dilaksanakan Pada:

· Hari/Tanggal: Kamis, 11- 12 Oktober 2001

· Pukul: 09.00 -17.00

· Tempat: Pusham Unair

· Peserta: idem dengan Work Shop I

· Pengantar Diskusi: M. Farid (SAMIN Yogyakarta)

· Hasil: KHA sebagai pedoman dalam pembuatan Kuesioner

13. Work Shop Metodologi Penelitian

Dilaksanakan Pada:

· Hari/Tanggal: 23 Oktober 2001

· Tempat : Pusham Unair

· Peserta: Idem dengan Work Shop II

· Pengantar Diskusi: Laurike, Devi ( Universitas Atmajaya)

· Hasil: Pembuatan kuesioner

14. Diskusi Permasalahan Surabaya

Dilaksanakan pada:

· Hari/ Tanggal: 7 November 2001

· Tempat: Pusham Unair

· Peserta: LBH Surabaya, PS Bangun Sari, PS Doli, Hotline Surabaya, Deras, Pusham Ubaya, PK5, Jawa Post, Surya, dll

· Pengantar Diskusi: Sholeh

· Hasil: Mengidentifikasi permasalahan Surabaya dan mengadakan aksi bersama

15. Pemutaran Film "Burning Season" dan Diskusi

Dilaksanakan pada:

· Hari/ Tanggal: 8 Desember 2001

· Tempat: Pusham Unair

· Peserta: Warga masyarakat dari Lakarsantri, Wiyung, Kedungcowek, Forum studi mahasiswa, beberapa LSM, Akademisi

· Pengantar diskusi: Bambang Budiono (Pusham Unair)

· Hasil: Persiapan aksi peringatan Hari HAM 10 Desember2001[2]

Sekarang ini pada tahun 2008 Pusham unair mempunyai dua agenda kegiatan atau program utama. Kegiatan yang pertama adalah tentang reformasi polisi dan yang kedua adalah tentang perempuan dan politik. Reformasi polisi ini bertujuan agar di dalam tubuh Polri dilakukan reformasi dan agar mempunyai pendekatan-pendekatan yang lebih humanistic dan lebih memihak atau menjunjung HAM dalam upaya penyelesaian masalah yang ditangani polisi. Kegiatan yang kedua adalah perempuan dan politik. Di Indonesia posisi perempuan sering termarginalkan. Padahal HAM adalah salah satu hak perempuan juga. Dalam dunia politik, posisi perempuan juga kurang mendapat tempat atau kesempatan yang lebih dari pada laki-laki. Tujuan dari kegiatan ini adalah Pusham membrikan dukungan kepada teman-teman perempuan agar dapat lebih aktif berpartisipasi dalam dunia politik. Hal ini seperti diungkapkan oleh Agus (26)

“ada dua program besar yang pertama itu reformasi polisi, berusaha mendorong dan bersama-sama polisi untuk mereformasi Polri agar memiliki pendekatan-pendekatan yang lebih humanistik dan lebih memihak HAM. Kemarin kan kita melihat polisi menggebuki mahasiswa, bagaimana polisi menembaki warga, nah ini melalui program ini kita berusaha untuk mendorong polisi dalam bertindak menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Termasuk yang sekarang lewat apa misalnya lewat traning-traning termasuk yang sekarang ini kita sedang traningHAM dan kesetaraan gender yang ada di Jombang, bekerja sama dengan Polda Jatim mereka yang mengundang polisinya, kita yang memberi materi dan traning, lalu kita juga punya beberapa pilot project dimana polisi kita tuntut, dituntut masyarakat juga untuk ikut nimbrung bersama masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah disana dengan metode yang persuasive. Kalau regresif itu kan pake tembak pake pentung, nah itu rawan pelanggaran HAM. Lha ini metodenya didorong untuk lebh persuasif, jadi masalah itu diselesaikan sebelum masalah itu menjadi besar atau ketika masalah itu masih desas-desus atau belum potensial atau deteksi dini dalam bahasa kepolisian. Itu nanti kita dorong disana. Di Surabaya ada enam termasuk di Petemon itu, terus di Jombang ada enam di Banyuwangi ada enam, jadi ada delapan belas kelurahan atau desa yang kita dampingi. Dan satu lagi program perempuan dan politik. Ini kan di Negara kita ini kiprah perempuan itu masih termarginalkan. Banyak yang bilang bahwa HAM itu salah satu Hak perempuan juga, terjaminnya hak perempuan itu juga salah satu terjaminnya HAM, karena perempuan, laki-laki atau anak itu semua manusia, tua muda atau lainnya itu juga punya hak yang sama, punya peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang termasuk politik. Yang ada selama ini itu perempuan itu tidak diposisikan, tidak mendapat peluang yang cukup baik dalam bidang politik. Di Surabaya, dari total empat puluh lima anggota DPR itu Cuma ada sekitar empat atau lima gitu anggota dewan yang perempuan. Di Jawa Timur dari sekitar seratus kursi dan hanya sekitar tujuh belas yang perempuan. Ini yang menjadi keprihatinan kita sehingga kita bikin beberapa kegiatan yang intinya itu mensupport kawan-kawan kita yang dipartai politik yang perempuan untuk dapat maju, dan kalau kurangnya apa itu kita back up lewat pintu. Mereka kurang apa mislanya pendidikan politik kita back up, mereka btuh pelatihan strategi kampanye kita back up, mereka butuh pelatihan pemahaman tentang undang-undang pemilu kita juga ada waktunya untuk melakukan traning-traning.”

Selain dua kegiatan utama tersebut, Pusham Unair juga mempunyai kegiatan utin yang dilakukan dan sifatnya insidental. Kegitan-kegiatan tersebut biasanya tentang diskusi-diskusi bersama tokoh-tokoh masyarakat seperti tokoh politik, budaya, seni, dan lain-lain. Hal ini seperti diungkapkan oleh Agus (26)

engga, itu kegiatan-kegiatan yang incidental, kalau yang saya bilang 2 tadi itu khan kegiatan jangka panjang sampa tahun 2009, tapi di luar itu juga kita rajin megadakan diskusi-diskusi dengan tokoh-okoh politik, budaya, HAM juga. Yang kemarin Budiman Sujatmiko, yang hari rabu itu sama Sri Sultan, Garin Nugroho, Franky Sihalatua, Suardi Nakib itu diskusi tidak ada kaitannya dengan perencanaan jangka panjang jadi itu Cuma yang incidental aja. Jadi ya kita ketemuan sapa nanti kita atur kita buatkan diskusi untuk bertukaran pikiran dengan kawan-kawan yang lain.”

Kegiatan insidental yang diadakan olerh Pusham Unair misalnya adalah kedatangan Budiman Sudjatmiko untuk diskusi dengan kawan-kawan GMNI dan lain-lain di Pusham Unair. Budiman Sudjatmiko menyampaikan atau membicarakan tentang Soekarno sebagai seorang proklamator, Presiden pertama RI dan sebagai seorang ideolog serta menyampaikan kondisi politik dan bangsa Indonesia saat ini. Budiman Sudjatmiko menyampaikan bahwa Soekarno tidak hanya sebagai seorang proklmator, Presiden pertam RI tetapi juga sebagai tokoh ideolog. Jika Soekarno dikatakan sebagai seorang prokalmator dan Presiden pertam RI maka semua pihak tidak ada yang mempermasalahkan, tetapi ketika Soekarno dikatakan sebagai figure penggerak transformasi masyarakat, perubahan social, tokoh nasional ada sejumlah kelompok seperti orang-orang yang berbasis politik Islam menolak itu. Hal ini seperti diungkapkan oleh Budiman Sudjatmiko (32):

”intinya saya ingin mengatakan bahwa Soekarno adalah, Bung Karno adalah, korban dari, figure Bung Karno merupakan korban dari proses stigma politik sehingga kita sebagai sebuah bangsa, kita sepakat figure Bung Karno sebagai Proklamator dan Presiden RI, tapi figure Bung Karno ketika mau ditarik kedalam suatu aspek yang lebih progresif sebagai Bapak ideology, sebagai Bapak marhaenisme misalnya sebagai seoarang penulis teori-teori yang revolusioer sering kali costrain terpecah. misalnya begini, Bung Karno Proklamator dan Presiden RI yang pertama tidak ada yang memperdebatkan itu, tetapi menempatkan figure Bung Karno katakanlah sebagai figure penggerak tranformasi masyarakat, disitulah disebut sebagai seorang tokoh nasional dan sebagai pemikir dan pelaku perubahan sosal itu kadang-kadang sejumlah kelompok menolak itu, misalnya, contoh saja orang-orang di belakang latar belakang politik Islam diajak melihat hanya sebagai seorang Proklamator dan Presiden. ketika orang-orang dibelakang politik Islam diajak melihat Bung Karno sebagai ideology katakanlah, mereka semua melarikan diri seolah-olah ide bung karno tidak dapat mereprensentasikan keberadaan kelompok ini atau kelompok-elompok yang lain. orang-orang yang latar belakangnya PNI misalnya, mereka sepakat figure Bung Karno sebagai Proklamator dan Presiden RI, tapi ketika mereka diajak untuk menarik figure Bung Karno sebagai seorang tokoh, ideology, gerakan Marheinisme sebagai tokoh cenderung melihat “Wah bung karno bukan orang kita” dilain pihak juga, kadang-kadang juga gerakan kaum Soekarnois Tradisional di kalangan Marheinisme Tradisonal pun diletakkan dalam kerangka ideology tetapi tidak diusung oleh mereka secara tradisional menjadi bagian dari gerakan partai Bung Karno, mereka mengatakan “Lho kenapa kok membawa-bawa Bung Karno dalam pengertian yang ideologis. jadi, yang merasa punya tidak mau berbagi, ynag merasa tidak diwakili tidak mau ikut sharing tentang pikiran-pikiran dia. ini adalah suatu persoalan yang menurut saya seharusnya sudah selesai, yang seharusnya sudah dirmpungkan atau minimal sudah dikurangi selama berpuluh-puluh tahun karena baik meraka yang secara tradisional menajdi gerakan soekarnois maupun yang menjadi bagian kerangka social democrat, maupun yang berasal dari latar belakang gerakan-gerakan Islam ataupun mereka yang menjadi bagian dari gerakan Kiri Kotemporer tahun delapan puluhan sembilan puluhan sama-sama menjadi korban otoriter orde baru, namun rupanya saudara-saudara sekalian, orede baru selama tiga puluh tahun itu tidak bisa menghancurkan sekat-sekat horizontal diantara kelompok-kelompok politik dan organisasi politik. sekat-sekat itu dipelihara karena selain orde baru berkepentingan untuk memelihara sekat-sekat itu, tapi juga diantara kelompok-kelompok tadi menganggap Soekarno itu wekku atau Soekarno adalah milik dia. ketika sudah menyangklut soekarno sebagai figure ideologis dan ketika soekarno sebagai Proklamator dan Presiden RI, tidak ada perdebatan tentang itu, nah, hal lain saudara-saudara saya ingin mencoba melihat perdebatan dari arah kelompok-kelompok kiri yang kotemporer dan yang sampai sekarang masih harus saya yakinkan bahwa bagaimana menangkap bahwa Soekarno bukan hanya seorang Proklamator dan Presiden tetapi juga sebagai ideology dari gerakan-gerakan rakyat indonesia. Dulu di Nikaragua pejuang-pejuang disana meetakkan figure Sadino atau Sadinismo dan mereka meletakkan diri mereka sebagai kaum Sadinista, Sadinis, sebagai seorang tokoh pejuang kemerdekaan di Nikaragua dan mempribumikan pikiran-pikiran progresif, nah disinilah saya pikir sebenarnya Bung Karno meletakan dasar-dasar itu semua tentu saja apa yang ingin dicapai.”

Pada pembicaraan tentang pemetaan politik dan kondisi bangsa Indonesia saat ini bambang Budiono menyimpulkan dari pembicaraan Budiman Sudjatmiko sebelumnya yang menyatakan bahwa dalam pemerintahan saat ini belum ada kekuatan yang menawarkan alternative-alternatif melawan dominasi pemerintahan orde lama, dominasi keekuatan ini bersifat previte liberalism dimana munculnya premanisme politik yang secara sengaja dipelihara dan diberiruang dalam politik. Seperti yang dikatakan Bambang (46):

“belum ada kekuatan yang menawarkan alternative cara lebih sistematis yang lebih riil sementara kekuatan-kekuatan yang progresif yang di sisi kiri bawah itu masih sporadis. belum cukup terkonsolidasi dengan baik dengan berbagai kekuatan. ada kebutuhan untuk menghilangkan sekat-sekat primodialisme. mungkin mereka social progresif, tetapi basisnya NU, PPP, PDI-P, GMNI, dan sebagainya tetapi mereka sebetulnya bisa dikategorikan sebagai social progresif itu. ada kebutuhan untuk keduanya mempersatukan kekuatan-kekuatan itu dalam satu ideology yang jelas untuk memberikan alternative-alternatif melawan kekuatan-keutan ideology kanan atas. kita keliatannya sampai sekarang lebih didominasi oleh kekuatan sifat previte liberalism mulai dari system politiknya, system ekonminya, hukumnya, bahkan ketika rakyat previte liberalism itu dimaknai sebagai hal baru. baru-baru ini saya melihat bagaimana pengadilan yang dulu dihormati dan sekarang tidak lagi dihormati, bahkan ada orang yang melakukan pembunuhan di depan hakim, ini saya kira ditingkat rakyat ekspresi dari sekedar pelatihan pevideliberalism mungkin seperti itu, lalu kita melihat previte liberalism dengan munculnya premanisme politik yang memang secara sengaja di pelihara, kemudian di kasih tempat terus diikutkan dalam gerbong reformasi. tapi sebetulnya lebih menekankan pada kekerasan dan mereka akan selalu di tengah era reformasi akan mendominasi wacana dengan kekerasan itu, dampaknya luar biasa, seolah-olah negara tanpa arah, tanpa pemimpin dan negara yang dengan hukum yang tidak jelas. dalam konteks situasi itu saya sepakat bahwa ada kebutuhan untuk menawarkan suatu alternatif yang didukung oleh kekuatan riil.”

Kegiatan Pusham tidak hanya seputar COP dan Perempuan dan Politik, namun pada kegiatan sebelumnya Pusham juga mempunyai program mengenai kekerasan terhadap anak. Programnya adalah “Perlindungan Hak Anak melalui Jaringan Komunitas”. Pada program ini Pusham menangani kekerasan terhadap anak melalui jaringan komunitas yaitu kekerasan pada anak yang terjadi di seputar komunitas dalam artian disekitar Kelurahan di daerah-daerah kegiatan Pusham berada. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Agus (26):

“Dulu kita punya program beberapa itu judulnya Perlindungan hak anak melalui jaringan komunitas. Jadi di komunitas-komunitas yang ada polisinya yang ada warganya tadi yang kita katakan yang membahas masakah di sekitar mereka slah satunya ya masalah kekerasan terhadap anak itu kan ada KDRT yang sekaran ada UU-nya tahun 2004 tentang KDRT, baik itu kekerasan terhadap istri, terhadap suami baik itu fisik atau mental, kekerasan terhadap pembantu, anak, lha itu juga masuk dalam kajiannya teman-teman yang ada di komunitas itu. Memang ternyata banyak juga yang di sekitar mereka anak-anak yang disekap, dipukuli, itu banyak dan muncul dan kita tidak mungkin tahu tanpa bantuan dari komunitas, makanya strateginya adalah bagaimana melindungi hak naka itu dengn melibatkan kominitas, bukan kita yang turun sendiri untuk mengadvokasi anak-anak yang dipukuli tadi, disiksa dan macam-macam.”

Kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani oleh Pusham hanya mencakup anak dalam komunitas atau keluarahan tempat Pusham berada. Hal ini serupa dengan yang diungapkan oleh Agus (26): “tidak ternasuk anak jalanan hanya terbatas pada lingkup komunitas yaitu kelurahan”. Pusham tidak melayani pengaduan mengenai HAM. Hal ini sesuai dengan yag diutarakan Agus (26): “Tidak mas kami ini kan mandatnya cuma studi HAM, jadi tidak secara langsung menangani kasus, kami hanya mengarahkan saja, karena sesuai dengan mandatnya, jadi bukan mendampingi korban-korban HAM”.

Salah satu wujud nyata dari program jangka panjang Pusham Yang pertama adalah COP (Corporate Organization Police) atau biasa disebut FKPM. COP merupakan program dari Polri sejak kedudukannya secara struktural terlepas dari TNI. Polri telah merespon reformasi tersebut dengan melakukan perubahan pada tiga aspek, yaitu aspek struktural (kelembagaan, organisasi, susunan dan kedudukan), aspek instrumental (visi, misi dan tujuan), dan aspek kultural (manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material, fasilitas dan jasa, sistem anggaran dan sistem operasional). Dari ketiga aspek tersebut aspek kultural merupakan yang paling berat, karena menjadi wujud nyata dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, dan menjadi tolak ukur keberhasilan dalam tugas dan fungsi Poiri yaitu sebagai penegak hukum, pelayan, pelindung, pengayom masyarakat, dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Untuk melakukan perubahan pada aspek kultural tersebut, maka diperlukan dukungan dari berbagai pihak antara lain pemerintah, swasta dan masyarakat. Dan dalam menjaga stabilitas kamtibmas juga diperlukan kesadaran dari semua pihak sebagai bagian tanggungjawab bersama, yang bukan hanya menjadi tanggungjawab kepolisian semata. Karena perlu disadari keamanan merupakan suatu kebutuhan dasar (basic needs) untuk dapat melakukan segala aktivitas dalam masyarakat itu sendiri.
Dengan adanya tuntutan reformasi dalam tubuh Polri yaitu dalam aspek kultural dan juga dalam masyarakat yaitu kesadaran akan pentingnya stabilitas kamtibmas, maka masyarakat telah mewujudkannya dalam suatu bentuk program yang disebut COP (Community Oriented Policing). Program COP telah diadobsi dari berbagai negara yang telah berhasil mengimplementasikannya. Implementasi program COP merupakan atas kerjasama dari berbagai pihak antara lain pemerintah, swasta, dan masyarakat termasuk juga kepolisian. Program ini sampai sekarang telah diimplementasikan di berbagai kota besar di Indonesia termasuk Surabaya. Di Surabaya sendiri program COP mulai diimplementasikan pada tanggal 8 April 2004, yang telah bekerjasama dengan The Asia Foundation sebagai lembaga donor, Pusham Unair sebagai "civil society organization", Polwiltabes Surabaya, dan juga Pemerintah Kota Surabaya yang telah memberikan dukungan lewat kebijakan alokasi anggaran khusus dalam APBD tahun 2005.
Awal program COP ini diimplementasikan di Surabaya yaitu pada wilayah yang dijadikan percontohan (pilot project), antara lain Kelurahan Keputih & Kelurahan Klampis Ngasem (Kecamatan Sukolilo), Kelurahan Petemon & kelurahan Putat Jaya (Kecamatan Sawahan), dan Kelurahan Kedungdoro & Kelurahan Tegal Sari (Kecamatan Tegal Sari).

Dalam kegiatan di radio COP Petemon, permasalahan yang dibahas adalah mengenai keberadaan COP di wilayah Petemon dan kurangnya pemahaman masyarakat antara fungsi COP dan FKPM (Forum Kemitraan Polisi Masyarakat). Secara garis besar fungsi COP dan FKPM adalah sama, yaitu tentang adanya kesadaran masyarakat terhadap Kamtibmas (Keamanan dan ketertiban Masyarakat). COP adalah sebagai wadah atau fasilitator masyarakat dengan polisi jika terjadi penyimpangan sosial. Masyarakat dapat mengadu permasalahan sosial yang ditemui kepada COP. Lalu COP melaporkan kepada polisi dan polisi menindaklanjuti laporan yang diterima dari COP. Hal ini seperti diungkapkan oleh Lutfi (27):

COP dan FKPM tu tidak ada bedanya. COP merupakan kepanjangan dari Comunity Oriented Police, sedangkan FKPM adalah Forum Kemitraan Polisi Masyarakat. Duanoragnisasi ini dibentuk untuk mereformasi masyrakat. COP dan FKPM dibentuk agar polisi dan masyarakat mampu bekerja sama dengan baik. Karena selama ini polisi menjadi momok masyarakat, karena tindakannya yang semena-mena. FKPM merupakan fasilitator untuk menjebatani antara masyarakat dengan polisi apabila terjadi tindak kriminalitas, namun polisi tetap menjadi eksekutor. Jadi apabila terjadi penyimpangan sosial di suatu daerah, misalnya Petemon masyarakat bisa mngadukannya ke FKPM, karena FKPM merupakan wadah bagi masyarakat untuk mengadu bila ada penyimpangan social, kemudian di cari bersama-sama untuk mencarai alternative-alternatif solusi, yang kemudian di tindak lanjuti oleh polisi”

Banyak kegiatan yang dilakukan oleh Pusham selain dua program jangka panjang tersebut, salah satunya adalah turut serta dalam berdirinya radio COP Petemon. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Fitri (21) yang merupakan salah seorang penyiar yang merangkap sebagai kru di radio COP Petemon, sekaligus mahasiswi Unesa jurusan Bahasa Inggris: “Radio ini berdiri sejak satu tahun yang lalu dan bekerja sama dengan Pusham Unair sebagai fasilitator maupun tempat informasi antara masyarakat petemon, polisi dan birokrasi. Yang membiayai radio ini hingga bisa berdiri ya Pusham”.

BAB V

ANALISIS DATA

24

Mengacu pada proses berdirinya Pusham Unair berdasarkan surat dari Kementerian HAM yang ditujukan kepada semua Perguruan Tinggi yang isinya setiap Universitas mendirikan lembaga-lembaga pusat studi Hak Asasi Manusia, yang kemudian surat Kementrian HAM tersebut diproses oleh pihak kampus Unair lalu berdirilah Pusham Unair pada tahun 2000, maka dapat dilihat bahwa Pemerintah merasa perlu untuk mendirikan atau memunculkan suatu lembaga yang dibutuhkan untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan HAM. Hal ini berkaitan dengan penataan Negara setelah gelombang reformasi yang diawali pada tahun 1998. Melalui hal ini dapat dikatakan bahwa pemerintah mengindikasi bahwa pada era orde baru telah terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM, karena itu dirasa perlu untuk membentuk suatu lembaga untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan HAM ini, bukan menangani masalah-masalah HAM yang terjadi di masa lampau, melainkan berusaha untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran HAM agar tidak terjadi pada masa mendatang. Dari data yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa Pemerintah merasa perlu untuk mendirikan lembaga-lembaga untuk menangani masalah HAM, namun berada di luar tangan Pemerintah, untuk menjauhkan kesan bahwa Pusham merupakan lembaga bentukan Pemerintah, sebab hal ini ditakutkan akan memunculkan kesan lain, yaitu Pusham tunduk pada Pemerintah karena merupakan lembaga bentukan Pemerintah. Kesan tersebut akan berdampak buruk pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pusham nantinya, karena sebagian dari masyarakat masih berpandangan bahwa pemerintah kurang dapat dipercaya. Berdasarkan pandangan seperti inilah maka surat dari Kementrian HAM langsung ditujukan kepada Perguruan-Perguruan Tinggi. Melalui hal tersebut dapat dilihat bahwa proses reformasi telah memunculkan suatu perubahan dalam struktur hukum, dimana pada orde baru hak-hak asasi manusia yang telah dilanggar tidak akan mendapatkan semacam pertanggung jawaban, maka setelah reformasi bergulir maka pelanggaran atas hak-hak asasi manusia menjadi sesuai yang penting untuk ditangani, hingga pemerintah secara tidak langsung membentuk Pusham.

Berdasarkan perumusan visi dan misi dari Pusham Unair yang mengatakan bahwa karakteristik korban adalah korban merupakan mereka yang tidak memiliki akses politik, informasi dan budaya; mereka yang lemah posisi hukumnya dan mereka yang tidak memperoleh perlindungan yang cukup dari DPRD, polisi, jaksa, hakim dan perangkat pemerintah lainnya. Karakteristik korban diatas merupakan karakteristik secara umum, maka akan sebutkan pula disini karakteristik korban pelanggaran HAM khusus bagi perempuan dan anak-anak. Khusus bagi korban perempuan adalah mereka yang mengalami kekerasan berupa pencabulan, perkosaan, di injak-injak hak reproduksinya, mereka yang mengalami trauma psikologis akibat perlakuan diatas, mereka yang diabaikan hak-hak ekonominya dan mereka yang tidak mempunyai akses ke peradilan. Khusus bagi korban anak-anak, mereka adalah anak yang dianiaya, dijual (trafficking), dikenai stereotype (stereotyping) dan mereka yang diracuni sejak dalam kandungan. Dari hal diatas dapat dilihat bahwa disana terdapat dua kelas, yaitu kelas yang memiliki akses politik, informasi dan budaya, dan kelas yang tidak memiliki akses politik, informasi dan budaya; mereka yang lemah posisi hukumnya dan mereka yang tidak memperoleh perlindungan yang cukup dari DPRD, polisi, jaksa, hakim dan perangkat pemerintah lainnya. Hal ini sesuai dengan konsep Karl Marx mengenai kelas, namun pembedaannya dengan Karl Marx yang mengatakan bahwa pembedaan kelas didasarkan atas kepemilikan Mood of Production, dalam hal ini yang menjadi dasar adalah kepemilikan adalah akses politik, informasi dan budaya. Dengan memiliki akses politik, informasi dan budaya akan memudahkan seseorang untuk mendapatkan pembelaan atas dirinya ataupun penuntutan pertangunggung jawaban kepada seseorang atau kelompok yang telah melanggar hak-hak asasinya. Pada orang yang tidak memiliki akses politik, informasi dan budaya akan muncul kesulitan untuk menuntut pembelaan serta pertanggung jawaban pada seseorang atau kelompok yang telah melanggar hak-hak asasinya. Pada kelas yang tidak memiliki akses politik, informasi dan budaya ini Pusham memberikan fasilitas serta bantuan untuk menolong seseorang atau kelompok agar mereka yang telah dilanggar hak-hak asasinya dapat memperoleh pertanggung jawaban dari orang atau kelompok yang telah melanggar hak-haknya tersebut. Pada orang-orang yang tidak memiliki akses atas politik, informasi dan budaya mereka mengalami suatu alienasi atas hak-hak asasinya karena mereka tidak dapat menutut pertangungjawaban atas pelanggaran atas hak-hak asasi yang dia miliki, secara tidak langsung mereka dapat dikatakan tidak memiliki hak-hak asasi. Hal ini sesuai dengan konsep alienasi yang dikemukakan oleh Karl Marx dimana dia mengatakan alienasi adalah suatu keadaan, dimana manusia dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang tercipta dari kreasinya sendiri, yang merupakan kekuatan yang melawan manusia itu sendiri.

Dalam perumusan visi dan misi, disebutkan bahwa korban merupakan mereka yang tidak memiliki akses politik, informasi dan budaya, mereka yang lemah posisi hukumnya dan mereka yang tidak memperoleh perlidungan yang cukup dari DPRD, polisi, jaksa, hakim dan perangkat pemerintah lainnya. Sealin itu disebutkan pula bahwa korban perempuan adalah mereka yang mengalami kekerasan berupa pencabulan, perkosaan, di injak-injak hak reproduksinya, mereka yang mengalami trauma psikologis akibat perlakuan diatas, mereka yang diabaikan hak-hak ekonominya dan mereka yang tidak mempunyai akses ke peradilan, sedangkan korban anak-anak, mereka adalah anak yang dianiaya, dijual (trafficking), dikenai stereotype (stereotyping) dan mereka yang diracuni sejak dalam kandungan. Hal ini diberi penjelasan tersendiri karena dirasa banyak terjadi pelanggaran HAM pada perempuan dan anak-anak dan pelanggaran tersebut baik pihak yang melanggar HAM ataupun yang dilanggar hak asasinya terkadang tidak mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya telah melanggar HAM dan apa yang telah diperbuat orang lain kepadanya merupakan pelanggaran HAM. Selain itu pada bagian ini juga disebutkan bentuk-bentuk pelanggaran HAM pada perempuan dan anak-anak supaya ada ajuan yang jelas tentang apa saja yang dikategorikan pelanggaran HAM pada perempuan dan anak-anak. Dalam mensosialisasikan kategori-kategori pelanggaran HAM terhadap perempuan dan ank-anak PUSHAM menempuh beberapa cara seperti, diskusi, seminar, dan program perlidungan hak anak melalui jaringan komunitas.

Berangkat dari karakteristik pelaku pelanggaran HAM adalah mereka yang berposisi sebagai aparat negara dan meiliki sikap mental feudal, bersikap dan bertindak anti demokrasi, melawan pembangunan masyarakata sipil, lebih menguntungkan keadilan procedural daripada keadilan substansial, mereka yang merasa berhak atas hidup korban, mereka yang merasa tindakannya menghancurkan harkat dan martabat manusia merupakan hal yang lumrah dan mereka yang tidak peka gender, maka aparat negara yang merupakan penegak hukum ini mulai dibatasi tindakannya, bukan pada tindakan operasionalnya melainkan pada tindakannya terhadap masyarakat, sebab kini telah ada lembaga-lembaga yang muncul untuk mengawasi tindakan aparat negara terhadap masyarakat, termasuk tindakan aparat negara kepada mereka yang berada di dalam penjara. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga ini berkaitan dengan HAM yang melekat pada diri manusia, lembaga ini mengawasi apakah terjadi suatu pelanggaran HAM pada tindakan aparat negara dalam upayanya menegakkan hukum. Dalam hal ini struktur dan substansi dari aparat negara ini tidak berubah, yang berbeda hanya pada cara bertindak aparat negara ini nantinya.

Dilihat dari isu-isu strategis yang dimunculkan bahawa kebijakan pembangunan Indonesia lebih memihak pada kepentingan pemilik modal daripada kepentingan rakyat maka dapat disimpulkan bahwa Pusham Unair lebih memihak pada rakyat dan lebih memperjuangkan kepentingan rakyat pada bidang HAM. Dilihat dari mandat Pusham Unair adalah membangun kesadaran HAM di masyarakat dan memeperjuangkan agar kebijakan negara lebih berpihak pada penegakan HAM, melalui suatu mekanisme pengkajian yang saintifik, dapat diartikan bahwa cara-cara yang diambel oleh Pusham Unair dalam upayanya pada penegakan HAM adalah upaya-upaya seperti dikusi, pertemuan dan penyampaian pernyataan kepada negara, jadi cara yang ditempuh bukanlah cara-cara yang radikal.

Dilihat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pusham Unair pada awal berdirinya, kegiatan-kegiatan tersebut lebih pada bentuk reaksi terhadap hal-hal yang muncul pada pemerintahan. Dilihat dari peserta diskusi yang diadakan oleh Pusham Unair, GMNI terlihat berulang kali mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pusham Unair. GMNI merupakan gerakan marhein, yang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, hal ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Pusham Unair.

Pusham Unair saat ini memiliki dua program utama, salah satunya adalah reformasi polisi. Reformasi dalam tubuh kepolisian berkaitan erat dengan lepasnya Polri dari TNI. Reformasi polisi dianggap penting karena tentu saja tugas dari kepolisian sekarang berbeda dengan yang sebelumnya saat masi tergabung dengan TNI. Ada kekhawatiran yang muncul mengenai cara penyelesaian kasus-kasus yang ditangani oleh polisi, sebab dahulu cara-cara penyelesaian polisi pada sebuah kasus identik dengan tindakan kekerasan yang terjadi. Hal ini berkaitan erat dengan citra yang melekat pada TNI pada rezim Soeharto. Dikhawatirkan setelah lepas dari TNI, Polri masih membawa citra-citra yang seperti ini. Reformasi yang diharapkan terjadi pada kepolisian adalah agar polisi menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih humanistic bukan pada struktur ataupun kelembagaannya. Pendekatan-pendekatan yang humanistic dirasa perlu untuk dilakukan untuk merubah citra kepolisian, serta untuk mengubah stigma yang ada pada masyarakat mengenai polisi yaitu ketakutan. Pada saat ini masyarakat melihat polisi sebagai sesuatu yang ditakuti bukan sesuatu yang melindungi masyarakat. Karenanya hal itu harus diubah. Polisi saat ini harus menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dengan metode yang persuasif agar pelangagran HAM dapat ditekan.

Dengan muculnya program COP yang diadopsi dari Amerika Serikat yang diharapakan untuk memperbaiki citra polisi yang buruk dimata masyarakat, maka bekerja sama dengan pihak Pusham Unair, polisi membentuk COP atau istilah lainnya disebut FKMP. COP merupakan kumpulan masyarakat yang berfungsi untuk membantu polisi dalam menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di komunitas. Caranya berupa mengindentifikasi masalah-masalah yang ada disekitar komunitas, kemudian membuat beberapa solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut, yang kemudian diserahkan dan dirapatkan bersama dengan polisi untuk mengambil keputusan, jadi COP hanya menyiapkan beberapa solusi dari masalah, bukan mengambil keputusan mengenai tindakan yang akan dilakukan guna penyelesaian masalah tersebut. Dari sini terlihat adanya pelimpahan wewenang dari kepolisian kepada masyarakat, walaupun wewenang tersebut hanya sebatas pemberian solusi atas masalah-masalah sosial yang muncul di sekitar komunitas, namun COP tetap memiliki kekuasaan untuk menilai apakah tindakan seseorang benar atasu keliru. Padahal wewenang untuk menyatakan bahwa tindakan seseorang itu benar atau keliru adalah wewenang aparat negara. Dari sini terlihat adanya perubahan struktur dalam masyarakat, yaitu munculnya suatu lembaga baru yang memiliki wewenang yang kurang lebih sama dengan aparat hukum yaitu COP.

Salah satu program besar Pusham Unair yang lain adalah perempuan dan politik. Pada program ini Pusham Unair mendorong para perempuan yang berkecimpung di dunia politik untuk maju mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif. Pusham Unair melihat bahwa selama ini wanita yang berkecimpung di dunia politik selalu dinomor duakan. Dari sini dapat dilihat bahwa menurut Pusham Unair kedudukan wanita dalam politik selama ini kurang memberikan kesempatan bagi wanita. Tujuan dari Pusham Unair dalam hal ini dapat dikatakan bahwa mereka ingin agar semakin banyak wanita yang duduk di pemerintahan, karena saat ini kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkadang merugikan wanita, salah satunya adalah pengesahan UU Pornografi, pada UU ini wanita diposisikan sebagai pemicu hasrat seksual.

Pusham Unair juga terkadang mengadakan kegiatan-kegiatan yang insidental seperti diskusi-diskusi serta pertemuan dengan para tokoh-tokoh politik, seperti yang dilakukan saat diskusi dengan Budiman Sujatmiko. Pada pertemuan ini Budiman mengatakan intinya bahwa saat ini panggung politik adalah kursi kosong yang menunggu untuk ditempati, dan bagaimana cara kita agar mendapatkannya. Dengan kata lain Budiman mengajak anak-anak muda untuk ikut terjun dalam dunia politik dalam upaya pembaharuan bangsa ini. Pusham Unair mengadakan kegiatan-kegiatan insidental ini secara terus-menerus dengan selalu mengundang anggota-anggota GMNI dengan tujuan untuk memberikan gambaran-gambaran situasi politik yang terjadi saat ini kepada anak-anak muda supaya saat mereka terjun dalam dunia politik mereka akan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.

Pusham Unair mendapatkan dana untuk mengadakan kegiatan dari The Asia Foundation serta dari Pemerintah kota Surabaya yang telah memberikan dukungan lewat kebijakan alokasi anggaran khusus dalam APBD tahun 2005. Dana ini digunakan untuk Program COP serta pemebentukan radio COP Petemon. Dari sini dapat dilihat bahwa dana yang didapat oleh Pusham Unair berasal dari kapitalis dunia barat yaitu The Asia Foundation, padahal yang mereka perjuangkan adalah hak-hak rakyat kecil sehingga hal ini memunculkan kerancuan antara tujuan dan cara pencapaiannya.



[1] http://www.pusham.org/pusham_unair/?lang=id&action=about, diakses pada kamis,13 november 2008 pukul 10.30 am

[2] http://www.pusham.org/pusham_unair/?lang=id&action=about, diakses pada selasa,11 november 2008 pukul 04.15 pm

Kamis, 30 Oktober 2008

Laporan Sementara

LAPORAN SEMENTARA

Pusham (Pusat Studi Hak Asasi Manusia) UNAIR merupakan sebuah lembaga bentukan UNAIR atas dasar surat dari Kementrian seperti yang diugkapkan oleh Agus (26) yang merupakan salah seorang pengurus Pusham: “Awal berdirinya Pusham itu dulu ada surat dari Kementrian Indonesia kepada perguruan-perguruan tinggi untuk mendirikan Pusham-Pusham, salah satunua ditujukan kepada Unair dan diproses oleh universitas, itu sudah lama sekitar tahun 2000”

Di Pusham saat ini terdapat dua program besar yang mereka laksanakan saat ini. Hal ini sesuai dengan ungkapan Agus (26):

“ada dua program besar yang pertama itu reformasi polisi, berusaha mendorong dan bersama-sama polisi untuk mereformasi Polri agar memiliki pendekatan-pendekatan yang lebih humanistic dan lebih memihak HAM. Kemarin kan kita melihat polisi menggebuki mahasiswa, bagaimana polisi menembaki warga, nah ini melalui program ini kita berusaha untuk mendorong polisi dalam bertindak menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Termasuk yang sekarang lewat apa misalnya lewat traning-traning termasuk yang sekarang ini kita sedang traningHAM dan kesetaraan gender yang ada di Jombang, bekerja sama dengan Polda Jatim mereka yang mengundang polisinya, kita yang memberi materi dan traning, lalu kita juga punya beberapa pilot project dimana polisi kita tuntut, dituntut masyarakat juga untuk ikut nimbrung bersama masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah disana dengan metode yang persuasive. Kalau regresif itu kan pake tembak pake pentung, nah itu rawan pelanggaran HAM. Lha ini metodenya didorong untuk lebh persuasif, jadi masalah itu diselesaikan sebelum masalah itu menjadi besar atau ketika masalah itu masih desas-desus atau belum potensial atau deteksi dini dalam bahasa kepolisian. Itu nanti kita dorong disana. Di Surabaya ada enam termasuk di Petemon itu, terus di Jombang ada enam di Banyuwangi ada enam, jadi ada delapan belas kelurahan atau desa yang kita dampingi. Dan satu lagi program perempuan dan politik. Ini kan di Negara kita ini kiprah perempuan itu masih termarginalkan. Banyak yang bilang bahwa HAM itu salah satu Hak perempuan juga, terjaminnya hak perempuan itu juga salah satu terjaminnya HAM, karena perempuan, laki-laki atau anak itu semua manusia, tua muda atau lainnya itu juga punya hak yang sama, punya peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang termasuk politik. Yang ada selamai ini itu perempuan itu tidak diposisikan, tidak mendapat peluang yang cukup baik dalam bidang politik. Di Surabaya, dari total empat puluh lima anggota DPR itu Cuma ada sekitar empat atau lima gitu anggota dewan yang perempuan. Di Jawa Timur dari sekitar seratus kursi dan hanya sekitar tujuh belas yang perempuan. Ini yang menjadi keprihatinan kita sehingga kita bikin beberapa kegiatan yang intinya itu mensupport kawan-kawan kita yang dipartai politik yang perempuan untuk dapat maju, dan kalau kurangnya apa itu kita back up lewat pintu. Mereka kurang apa mislanya pendidikan politik kita back up, mereka btuh pelatihan strategi kampanye kita back up, mereka butuh pelatihan pemahaman tentang undang-undang pemilu kita juga ada waktunya untuk melakukan traning-traning.”

Kegiatan diskusi-diskusi yang diadakan oleh pusham bukan merupakan kegiatan yang rutin dilakukan, melainkan hanya bersifat inseindental. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Agus (26):

engga, itu kegiatan-kegiatan yang incidental, kalau yang saya bilang 2 tadi itu khan kegiatan jangka panjang sampa tahun 2009, tapi di luar itu juga kita rajin megadakan diskusi-diskusi dengan tokoh-okoh politik, budaya, HAM juga. Yang kemarin Budiman Sujatmiko, yang hari rabu itu sama Sri Sultan, Garin Nugroho, Franky Sihalatua, Suardi Nakib itu diskusi tidak ada kaitannya dengan perencanaan jangka panjang jadi itu Cuma yang incidental aja. Jadi ya kita ketemuan sapa nanti kita atur kita buatkan diskusi untuk bertukaran pikiran dengan kawan-kawan yang lain.”

Pada kegiatan sebelumnya Pusham juga menangani kasus mengenai kekerasaan terhadap anak seperti ungkapan Agus (26):

“Dulu kita punya program beberapa itu judulnya Perlindungan hak anak melalui jaringan komunitas. Jadi di komunitas-komunitas yang ada polisinya yang ada warganya tadi yang kita katakan yang membahas masakah di sekitar mereka slah satunya ya masalah kekerasan terhadap anak itu kan ada KDRT yang sekaran ada UU-nya tahun 2004 tentang KDRT, baik itu kekerasan terhadap istri, terhadap suami baik itu fisik atau mental, kekerasan terhadap pembantu, anak, lhaitu juga masuk dalam kajiannya teman-teman yang ada di komunitas itu. Memang ternyata banyak juga yang di sekitar mereka anak-anak yang disekap, dipukuli, itu banyak dan muncul dan kita tidak mungkin tahu tanpa bantuan dari komunitas, makanya strateginya adalah bagaimana melindungi hak naka itu dengn melibatkan kominitas, bukan kita yang turun sendiri untuk mengadvokasi anak-anak yang dipukuli tadi, disiksa dan macam-macam.”

Kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani oleh Pusham hanya mencakup anak dalam komunitas atau keluarahan tempat Pusham berada. Hal ini serupa dengan yang diungapkan oleh Agus (26): “tidak ternasuk anak jalanan hanya terbatas pada lingkup komunitas yaitu kelurahan”. Pusham tidak melayani pengaduan mengenai HAM. Hal ini sesuai dengan yag diutarakan Agus (26): “Tidak mas kami ini kan mandatnya cuma studi HAM, jadi tidak secara langsung menangani kasus, kami hanya mengarahkan saja, karena sesuai dengan mandatnya, jadi bukan mendampingi korban-korban HAM”.

Salah satu wujud nyata dari program jangka panjang Pusham Yang pertama adalah COP (Corporate Organization Police) atau biasa disebut FKPM. Hal ini sesuai dengan pernyatan Lutfi yang merupakan salah seorang pengurus Pusham:

COP dan FKPM tu tidak ada bedanya. COP merupakan kepanjangan dari Corporate Organization Police, sedangkan FKPM adalah Forum Kemitraan Polisi Masyarakat. Duanoragnisasi ini dibentuk untuk mereformasi masyrakat. COP dan FKPM dibentuk agar polisi dan masyarakat mampu bekerja sama dengan baik. Karena selama ini polisi menjadi momok masyarakat, karena tindakannya yang semena-mena. FKPM merupakan fasilitator untuk menjebatani antara masyarakat dengan polisi apabila terjadi tindak kriminalitas, namun polisi tetap menjadi eksekutor. Jadi apabila terjadi penyimpangan sosial di suatu daerah, misalnya Petemon masyarakat bisa mngadukannya ke FKPM, karena FKPM merupakan wadah bagi masyarakat untuk mengadu bila ada penyimpangan social, kemudian di cari bersama-sama untuk mencarai alternative-alternatif solusi, yang kemudian di tindak lanjuti oleh polisi”

Banyak kegiatan yang dilakukan oleh Pusham selain dua program jangka panjang tersebut, salah satunya adalah turut serta dalam berdirinya radio COP Petemon. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Fitri (21) yang merupakan salah seorang penyiar yang merangkap sebagai kru di radio COP Petemon, sekaligus mahasiswi Unesa jurusan Bahasa Inggris: “Radio ini berdiri sejak satu tahun yang lalu dan bekerja sama dengan Pusham Unair sebagai fasilitator maupun tempat informasi antara masyarakat petemon, polisi dan birokrasi. Yang membiayai radio ini hingga bisa berdiri ya Pusham”.